Administrator 13/05/2025
Seri Refleksi Self-Awareness: Hadir Sepenuh Jiwa
oleh Dr. AHA
Hari ini aku banyak melakukan.
Kalenderku penuh, pikiranku sibuk, langkahku cepat.
Tapi di tengah semua itu, ada ruang kosong yang tak bisa kujelaskan.
Ruang yang terasa seperti kehilangan — tapi aku sendiri tak tahu, kehilangan apa.
Dulu aku mengira, sibuk adalah tanda berhasil.
Bahwa semakin padat waktuku, semakin bernilai diriku.
Tapi ternyata, ada satu hal yang hilang saat aku terlalu sibuk: diriku sendiri.
Kesibukan sering menyamar sebagai prestasi,
padahal bisa jadi ia adalah pelarian.
Pelarian dari diri sendiri, dari luka yang tak selesai, dari pertanyaan yang tak ingin dijawab.
“Kesibukanmu karena engkau lalai dari Allah.”
— Ibnu Atha’illah, Al-Hikam
Kalimat itu seperti cermin.
Apakah aku benar-benar hidup dalam kesadaran, atau hanya berlari dari satu hal ke hal lain demi merasa cukup berarti?
Aku mulai menyadari,
bahwa yang paling penting bukan berapa banyak yang aku lakukan,
tapi apakah aku hadir sepenuhnya dalam apa yang aku lakukan.
Bukan banyaknya aktivitas yang membuatku bermakna,
tapi kehadiranku yang utuh — itulah amal yang sejati.
Maka hari ini, aku pelan-pelan menepi.
Membuka kembali ruang sunyi dalam diriku.
Menemui sisi-sisi yang terabaikan,
dan bertanya dengan lembut:
“Apa kabar diriku yang sebenarnya? Masihkah kau merasa hidup?”
Karena aku tahu…
sibuk bisa membuatku dihormati,
tapi hanya hadir yang bisa membuatku damai.
Aku telah menjadi banyak hal dalam hidup ini.
Seorang pemimpin, seorang pengabdi, seorang ayah, sahabat, guru, bahkan kadang penengah dan pelindung.
Tapi di balik semua itu, aku bertanya dalam sunyi:
Siapa aku tanpa semua peran itu?
Sering kali kita terlalu melekat pada peran,
hingga lupa bahwa semua itu hanya pakaian.
Pakaian bisa berganti,
tapi jiwa yang mengenakannya — itulah diriku yang sejati.
Aku sadar, betapa mudahnya tenggelam dalam panggung dunia.
Dipuji karena jabatan, dihormati karena kontribusi,
tapi semua itu sesaat.
Lalu datang malam, sunyi, dan pertanyaan yang tak bisa didiamkan:
“Jika semua ini diambil, apa yang tersisa dariku?”
Hadir bukan berarti memainkan peran terbaik.
Hadir berarti mengenali jiwaku di balik semua peran,
dan tetap utuh meski dunia berubah.
“Seseorang belum benar-benar mengenal Allah, sampai ia mengenal dirinya sendiri.”
— Al-Ghazali
Hari ini aku belajar…
untuk tidak larut dalam gelar dan fungsi,
tapi menemukan ruh yang menggerakkan semuanya.
Aku ingin hadir sebagai jiwa — yang jujur, yang berserah, yang tahu bahwa hidup ini bukan panggung sandiwara,
melainkan perjalanan pulang.
Maka hari ini, aku hadir…
bukan sebagai tokoh besar dalam cerita orang,
tapi sebagai hamba yang sedang mencari keutuhan diri
dalam dekapan kasih Tuhan-Nya.
Ada momen-momen kecil yang dulu kuanggap sepele:
sehelai daun jatuh, senyum anak kecil, suara air, atau diam yang tak berkata-kata.
Tapi kini, di saat aku belajar hadir,
aku menyadari:
di balik momen-momen itu, Tuhan sedang bicara.
Kehadiran bukan hanya tentang fokus,
tapi tentang kesadaran bahwa setiap momen adalah jendela ilahi.
Bahwa Allah tidak hanya ada di sajadah,
tapi juga di sela-sela napas,
di antara detik-detik hening yang kuabaikan.
“Dia lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu.”
(QS. Qaf: 16)
Aku dulu berlari terlalu cepat.
Mengejar pencapaian demi pencapaian,
tapi lupa menyentuh kehidupan.
Kini aku berhenti sejenak,
dan menyentuh momen ini —
dengan hati yang sadar, dengan jiwa yang rindu.
Dan saat aku menyentuh momen ini dengan kehadiran…
aku menyentuh Tuhan.
Bukan secara fisik,
tapi dengan rasa yang dalam — yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang pasrah dan terbuka.
Maka hari ini aku belajar,
bahwa jalan menuju Allah tak harus selalu besar dan heroik.
Kadang, ia hadir dalam detik yang sangat biasa.
Yang luar biasa adalah:
ketika aku benar-benar hadir untuk merasakannya.
Kadang yang paling sulit bukanlah berbicara,
tapi berdiam dengan tenang.
Di dunia yang memuja suara, kecepatan, dan kesibukan,
diam sering dianggap kalah.
Padahal dalam diam, aku sering menemukan yang paling hakiki:
diriku sendiri.
Diam bukan sekadar tak bersuara,
tapi ruang batin untuk mendengar yang lebih dalam.
Bukan hanya suara hati,
tapi bisikan-Nya yang lembut — yang sering tertutup oleh riuhnya dunia.
“Bila engkau ingin bicara dengan Tuhan, berdoalah.
Bila engkau ingin mendengar Tuhan bicara padamu, diamlah.”
— Buya Hamka
Aku pernah mengira, perubahan datang dari banyaknya kata.
Tapi ternyata, yang paling membentukku justru keheningan yang tak terucap.
Saat aku diam, aku mulai sadar:
aku tidak harus menjawab semua hal,
tidak harus ikut semua arus,
tidak harus terlihat tahu.
Diam membuatku mengenali getaran dalam dada
yang selama ini tertimbun oleh logika dan rencana.
Diam membantuku memeluk diriku yang rapuh,
tanpa perlu menjelaskannya pada siapa pun.
Maka hari ini, aku izinkan diriku untuk diam.
Bukan karena aku kehilangan arah,
tapi karena aku sedang menata arah dengan lebih dalam.
Karena dalam diam,
aku menemukan bahwa Allah tidak pernah jauh.
Aku yang sering tak hadir.
Kini aku kembali… dalam diam yang menyadarkan.